Kamis, 02 November 2017

PUNK PUNYA KREATIFITAS!!


Anak Punk Bukan Hanya di Jalanan, Ini Bukti Kreativitas Mereka


Anak Punk Bukan Hanya di Jalanan, Ini Bukti Kreativitas Mereka

Sidoarjo (beritajatim.com) - Ratusan anak-anak punk Sidoarjo tumplek blek di Kampung Seni Sidoarjo di Blok CG Perumahan Pondok Mutiara Sidoarjo, Sabtu (20/5/2017).

Komunitas anak-anak punk itu mengikuti pagelaran kesenian yang diadakan oleh Komunitas Kampung Seni Sidoarjo. Mulai tari-tarian, jaranan, teater dan sebagainya.

Dadang Mulyadi Ketua Komunitas Kampung Seni Sidoarjo mengatakan, kegiatan ini untuk menghidupkan kembali kegiatan yang sudah delapan tahun terkesan vakum.

"Sengaja mereka (komunitas punk) kami kumpulkan untuk menfasilitasu dan mengikuti giat acara. Ternyata mereka banyak mempunyai kreatifitas yang patut diacungi jempol," katanya.

Komunitas anak-anak punk, tambahnya, banyak yang mempunyai kreatifitas yang positif. Seperti halnya, punya hobi pandai tari-tarian tradisional, teater, perupa, melukis di kanvas dan lainnya.

Bahkan banyak anak-anak punk yang pandai menyablon, punya kreatifitas seni cukil kayu berbentuk gambar dan tulisan. Seni cukil sejenis mengukir, tapi media kayunya lebih tipis.

"Banyak kreatifitas positif yang dipunyai oleh anak-anak punk. Salah kalau mereka dipandang negatif," imbuhnya.

Banyak kreatifitas yang ditunjukkan oleh anak-anak punk dan perlu diwadahi. Kreatifitas yang dipunyai oleh mereka juga tidak terkesan ditonjolkan dan diakui oleh masyarakat.

"Mereka itu dalam berkreatifitas, tidak mau menggebu-gebu ditunjukkan melalui apapun. Keinginan mereka biar masyarakat sendiri yang menilainya," tukasnya.

Mahmud Yunus Alwilly salah satu pendiri Kampung Seni Sidoarjo mengapresiasi kegiatan anak-anak muda ini. Menurut dia, kretifitas yang miliki oleh anak-anak Punk bisa dikembangkan.

"Seperti seni cukil kayu yang dibuat bahan sablon tempel, itu membuatnya terbalik seperti stempel. Mencukil kayunya penuh ketelitian dan ketelatenan," papar guru SMPN 1 Prambon itu. [isa/suf]

MARJINAL ( MIKE MARJINAL )

Mike Marjinal


Mike Marjinal adalah seorang musisi Indonesia. Pria pemilik nama lengkap Mikail Israfil ini adalah gitaris band beraliran punk bernama Marjinal. Marjinal adalah sebuah group musik band dari sekian banyak group band indie di Indonesia yang beraliran punk. "Bersama Marjinal" band punk yang dikenal fenomenal dan memiliki banyak pengikut, Mike demikian dia dikenal orang banyak, telah menelorkan karya-karya yang mudah sekali diterima masyarakat arus bawah.

Marjinal yang terinspirasi oleh Sex Pistols, Bob Marley, Leo Kristi, Toy Dolls, Bad Religion, The Crass, Benyamin S, dan Ramones memulai awal karirnya pada tahun 1997 ketika itu masih menggunakan nama AA (Anti ABRI) dan AM (Anti Military) dalam komunitas underground.

Memasuki tahun 2001 band punk ini mulai menanggalkan nama AA dan AM, mereka resmi menggunakan nama baru yaitu Marjinal. Nama baru di dapat ketika Mike, sang vokalis terinspirasi oleh nama pejuang buruh perempuan “Marsinah..Marsinah..Marjinal” asal Surabaya yang sangat berani dalam meperjuangkan haknya sebagai kaum buruh.

Namun sayang belum sampai pada saatnya, marsinah wafat dalam tugas suci yang mulia akibat penyiksaan yang dilakukan oleh aparat berseragam.

Tidak hanya itu Marsinah pun menginspirasikan Marjinal dalam meriliskan album ke-3 dengan judul album ”Marsinah” bercoverkan wajah marsinah dengan format hitam putih. Luar biasa, Judul lagu ”Marsinah” yang sama dengan judul albumnya, sangat familiar sekali karena banyak kalangan anak muda menyanyikan lagu ”Marsinah” di tongkrongan, studio musik, bahkan dalam sebuah pagelaran musik.

Mike lahir di Jakarta 23 Juni 1975 dari rahim seorang ibu yang bernama Rumani. Ayahnya seorang anggota TNI AD, Al Onli. Pria berambut gimbal ini, merupakan anak ke-empat dari lima bersaudara. Saat ini dia sudah dikaruniai dua orang anak.

Rabu, 01 November 2017

MIKE MARJINAL


GRUP BAND MUSIK YANG MENYUARAKAN SUARA RAKYAT

Musik punk yang identik dengan pembangkangan ternyata dapat menjadi alat bagi anak-anak jalanan bertahan hidup dan menyalurkan kreativitas mereka. Mehulika Sitepu menemui kelompok musik Marjinal yang 'mengasuh' anak-anak jalanan lewat musik.
Pertemuan pertama saya dengan Marjinal adalah di sebuah kamp LGBT di luar Jakarta. Mereka menutup acara itu, menampilkan musik mereka yang liriknya kental dengan isu HAM dan keadlian.
Banyak yang ikut bernyanyi saat mereka tampil. Ternyata lagu-lagu mereka cukup populer di kalangan masyarakat yang 'termajinalkan'.
Keesokan harinya saya menyambangi Marjinal di rumah tempat berkumpul mereka.
Kami berjanji bertemu pukul tiga sore. Saya tiba lima menit sebelumnya namun Mike, pemimpin Marjinal, justru mengatakan akan pergi memancing dulu untuk menjernihkan pikiran.
Kesannya, dia sangat santai akan hidup, namun karyanya menyatakan sebaliknya.
"Musik kita kebanyakan mengenai hukum dan keadilan, soal kemanuasiaan, misalnya kita juga buat lagu tentang Marsinah, terkait hak asasi dan kemanuasiaan, membantu kaum tani, nelayan, kaum miskin kota, isu-isu korupsi, itu yang menjadi fokus kita selama ini", papar Mike.
Dengan potongan rambut Mohawk dicat hijau terang, kurus dengan menggunakan celana panjang ketat robek-robek, penampilannya sangat tipikal anak punk.
Hak atas foto Helena Manhartsberger Image caption Mike saat ditemui di studio Marjinal.
Mike memulai kelompok kolektif ini pada 1996, saat masih mengamen di jalanan.
Kelompok musik kolektif dapat diisi oleh siapa saja yang bergabung, namun pemain kuncinya hanya dua orang: Mike dan Bobby.
Selain berkarya, dia menolong para pengamen dan anak-anak jalanan dengan membuat sebuah tempat bagi mereka belajar musik dan seni.
"Dengan kita membangun tempat ini, salah satu apresiasi kita terhadap teman-teman yang memiliki talenta, kemampuan yang ditularkan ke kita. Harapannya tidak hanya kita yang bisa merasakan itu, tetapi ada teman-teman lain juga yang mendapatkan proses pengalaman yang kita rasakan itu", katanya.
Rumah itu berlokasi di Jagakarsa, tak jauh dari Setu Babakan. Bangunan dua lantai itu terletak di antara pemukiman padat di kampung itu melalui jalanan sempit yang tak bisa dilewati mobil.
Begitu masuk, ada ruangan sekitar 10 meter persegi. Di salah satu dindingnya tergantung sebuah rak buku yang penuh dengan buku anak-anak. Dan memorabilia band itu di sisi lain dinding. Seluruh dinding ditutupi poster -kebanyakan tentang HAM dan lingkungan- yang dikolase menjadi penutup dinding atau wallpaper.
Hak atas foto BBC Indonesia Image caption Rak buku anak-anak di salah satu sisi rumah tempat berkumpul Marjinal.
Meski kecil, ruangan itu selalu penuh dengan anak-anak atau anak punk.
Salah satunya adalah Paulus Sihombing. Dia dulu sering menginap di basecamp Marjinal saat dia hidup di jalanan 10 tahun yang lalu. Orang tuanya mengusirnya karena dia memiliki tato.
"Kita tinggal selama ini dan tumbuh di masyarakat yang mempunyai pemikiran yang seragam. Lo punya masa depan kalau lo punya ijazah. Lo orang baik kalau lo tidak bertato. Itu lucu buat gue. Ngelawak", katanya sambil tertawa nyinyir.
Paulus menolak untuk tunduk sehingga dia pun memutuskan untuk hidup di jalanan dan bertahan hidup dengan mengamen. Dia bermain ukulele, yang biasa disebut kentrung.
Hak atas foto BBC Indonesia Image caption Poster-poster yang dikolase menjadi penutup dinding atau wallpaper.
"Takut mah pasti ada lah. Manusiawi. Di jalan terus dipandang jelek. Tidur di stasiun gue diusir. Khawatirnya yah diusir atau ada barang hilang saat kita tidur di jalanan. Sama pernah ketangkep juga pas razia preman."
Saya juga bertemu seorang anak perempuan berusia 12 tahun di situ. Dia tinggal di dekat basecamp dengan keluarganya. Saya bertanya alat musik apa yang dipelajarinya.
"Belajar marawis, menyanyi dan bermain gendang", jawabnya.
"Dari semuanya paling suka apa?", tanya saya. "Drum dan menyanyi karena mau menjadi penyanyi."
"Mau menjadi penyanyi punk juga seperti Marjinal?"
Hak atas foto BBC Indonesia Image caption Bangunan dua lantai tempat berkumpulnya Marjinal terletak di antara pemukiman padat di kampung di Jagakarsa.
"Insya Allah", jawabnya sambil tertawa malu.
Dia adalah salah seorang dari ribuan anak yang pernah membuat rumah ini sebagai rumah kedua mereka -atau bahkan satu-satunya rumah mereka.
"Awalnya kita mempopulerkan ukulele, dilihat dari latar belakang banyak pengamen dan bagaimana situasi di lapangan", kisah Mike.
"Tak sedikit teman-teman yang ditangkap, saat itu banyak razia gepeng. Akhirnya solusinya saat itu kita coba tawarkan kentrung. Karena itu sangat praktis, ketika ada razia tinggal dimasukkan."
Namun saat ini anak-anak diajarkan marawis karena Mike tidak ingin "membatasi mereka mau main musik apa karena itu ekspresi kejiwaan yang harus dirawat."
"Selagi mereka mau beraktivitas, bermain, nyobain semua instrumen yang mereka ingin bisa yah kita arahkan. Karena kebetulan ada kegiatan di mushola juga, mereka mengekspresikan kemampuan mereka dengan marawis."
Kebanyakan anak-anak yang dilatih musik oleh Marjinal telah tumbuh dewasa dan mendapati hidup mereka berubah.
Paulus, misalnya, mengikuti jejak Marjinal: menjadi musisi punk dan membuat rumah singgah bagi anak-anak jalanan.
"Yah gue pikir kalau ada yang bener kenapa tidak kita contohin? Yah diikutin lah." katanya sambil tertawa.
Pencapaian itu dan tujuh album -dengan dua diantaranya direkam di Jepang- Mike mengatakan bahwa Marjinal masih memiliki banyak pekerjaan rumah.
"Marjinal punya tanggung jawab besar untuk mentransformasi nilai-nilai punk itu ke mereka. Bahwasanya punk itu tidak hanya tidak dari musik, penampilan, kemarahan saja, tidak."
"Punk bukan mewariskan nilai-nilai orang London, atau orang-orang Barat, tapi punk itu sejatinya mengenal diri kita sendiri. Itu yang bagi Mike punya kepentingan untuk memberi pengaruh besar kepada mereka untuk mengenali diri mereka sendiri. Seperti kebanyakan masyarakat Indonesia yang hanya ingin menjadi orang lain. Ingin menjadi Barat, ingin menjadi Timur Tengah."
Memberi identitas adalah hal yang normalnya dilakukan orang tua. Namun bagi anak-anak jalanan ini, orang tua mereka adalah Punk.

http://www.bbc.com/indonesia/majalah-41330452