Musik punk yang identik dengan pembangkangan
ternyata dapat menjadi alat bagi anak-anak jalanan bertahan hidup dan
menyalurkan kreativitas mereka. Mehulika Sitepu menemui kelompok musik Marjinal
yang 'mengasuh' anak-anak jalanan lewat musik.
Pertemuan pertama saya dengan
Marjinal adalah di sebuah kamp LGBT di luar Jakarta. Mereka menutup acara itu,
menampilkan musik mereka yang liriknya kental dengan isu HAM dan keadlian.
Banyak yang ikut bernyanyi saat
mereka tampil. Ternyata lagu-lagu mereka cukup populer di kalangan masyarakat
yang 'termajinalkan'.
Keesokan harinya saya menyambangi
Marjinal di rumah tempat berkumpul mereka.
Kami berjanji bertemu pukul tiga
sore. Saya tiba lima menit sebelumnya namun Mike, pemimpin Marjinal, justru
mengatakan akan pergi memancing dulu untuk menjernihkan pikiran.
Kesannya, dia sangat santai akan
hidup, namun karyanya menyatakan sebaliknya.
"Musik kita kebanyakan mengenai
hukum dan keadilan, soal kemanuasiaan, misalnya kita juga buat lagu tentang
Marsinah, terkait hak asasi dan kemanuasiaan, membantu kaum tani, nelayan, kaum
miskin kota, isu-isu korupsi, itu yang menjadi fokus kita selama ini",
papar Mike.
Dengan potongan rambut Mohawk dicat
hijau terang, kurus dengan menggunakan celana panjang ketat robek-robek,
penampilannya sangat tipikal anak punk.
Hak atas foto Helena Manhartsberger Image
caption Mike saat ditemui di studio Marjinal.
Mike memulai kelompok kolektif ini
pada 1996, saat masih mengamen di jalanan.
Kelompok musik kolektif dapat diisi
oleh siapa saja yang bergabung, namun pemain kuncinya hanya dua orang: Mike dan
Bobby.
Selain berkarya, dia menolong para
pengamen dan anak-anak jalanan dengan membuat sebuah tempat bagi mereka belajar
musik dan seni.
"Dengan kita membangun tempat
ini, salah satu apresiasi kita terhadap teman-teman yang memiliki talenta,
kemampuan yang ditularkan ke kita. Harapannya tidak hanya kita yang bisa
merasakan itu, tetapi ada teman-teman lain juga yang mendapatkan proses
pengalaman yang kita rasakan itu", katanya.
Rumah itu berlokasi di Jagakarsa,
tak jauh dari Setu Babakan. Bangunan dua lantai itu terletak di antara
pemukiman padat di kampung itu melalui jalanan sempit yang tak bisa dilewati
mobil.
Begitu masuk, ada ruangan sekitar 10
meter persegi. Di salah satu dindingnya tergantung sebuah rak buku yang penuh
dengan buku anak-anak. Dan memorabilia band itu di sisi lain dinding. Seluruh
dinding ditutupi poster -kebanyakan tentang HAM dan lingkungan- yang dikolase
menjadi penutup dinding atau wallpaper.
Hak atas foto BBC Indonesia Image
caption Rak buku anak-anak di salah satu sisi rumah tempat berkumpul Marjinal.
Meski kecil, ruangan itu selalu
penuh dengan anak-anak atau anak punk.
Salah satunya adalah Paulus
Sihombing. Dia dulu sering menginap di basecamp Marjinal saat dia hidup di
jalanan 10 tahun yang lalu. Orang tuanya mengusirnya karena dia memiliki tato.
"Kita tinggal selama ini dan
tumbuh di masyarakat yang mempunyai pemikiran yang seragam. Lo punya
masa depan kalau lo punya ijazah. Lo orang baik kalau lo tidak
bertato. Itu lucu buat gue. Ngelawak", katanya sambil tertawa
nyinyir.
Paulus menolak untuk tunduk sehingga
dia pun memutuskan untuk hidup di jalanan dan bertahan hidup dengan mengamen.
Dia bermain ukulele, yang biasa disebut kentrung.
Hak atas foto BBC Indonesia Image
caption Poster-poster yang dikolase menjadi penutup dinding atau wallpaper.
"Takut mah pasti ada lah.
Manusiawi. Di jalan terus dipandang jelek. Tidur di stasiun gue diusir.
Khawatirnya yah diusir atau ada barang hilang saat kita tidur di jalanan. Sama
pernah ketangkep juga pas razia preman."
Saya juga bertemu seorang anak
perempuan berusia 12 tahun di situ. Dia tinggal di dekat basecamp dengan
keluarganya. Saya bertanya alat musik apa yang dipelajarinya.
"Belajar marawis, menyanyi dan
bermain gendang", jawabnya.
"Dari semuanya paling suka
apa?", tanya saya. "Drum dan menyanyi karena mau menjadi
penyanyi."
"Mau menjadi penyanyi punk juga
seperti Marjinal?"
Hak atas foto BBC Indonesia Image
caption Bangunan dua lantai tempat berkumpulnya Marjinal terletak di antara
pemukiman padat di kampung di Jagakarsa.
"Insya Allah", jawabnya
sambil tertawa malu.
Dia adalah salah seorang dari ribuan
anak yang pernah membuat rumah ini sebagai rumah kedua mereka -atau bahkan
satu-satunya rumah mereka.
"Awalnya kita mempopulerkan
ukulele, dilihat dari latar belakang banyak pengamen dan bagaimana situasi di
lapangan", kisah Mike.
"Tak sedikit teman-teman yang
ditangkap, saat itu banyak razia gepeng. Akhirnya solusinya saat itu
kita coba tawarkan kentrung. Karena itu sangat praktis, ketika ada razia
tinggal dimasukkan."
Namun saat ini anak-anak diajarkan
marawis karena Mike tidak ingin "membatasi mereka mau main musik apa
karena itu ekspresi kejiwaan yang harus dirawat."
"Selagi mereka mau
beraktivitas, bermain, nyobain semua instrumen yang mereka ingin bisa yah kita
arahkan. Karena kebetulan ada kegiatan di mushola juga, mereka mengekspresikan
kemampuan mereka dengan marawis."
Kebanyakan anak-anak yang dilatih
musik oleh Marjinal telah tumbuh dewasa dan mendapati hidup mereka berubah.
Paulus, misalnya, mengikuti jejak
Marjinal: menjadi musisi punk dan membuat rumah singgah bagi anak-anak jalanan.
"Yah gue pikir kalau ada
yang bener kenapa tidak kita contohin? Yah diikutin lah." katanya sambil
tertawa.
Pencapaian itu dan tujuh album
-dengan dua diantaranya direkam di Jepang- Mike mengatakan bahwa Marjinal masih
memiliki banyak pekerjaan rumah.
"Marjinal punya tanggung jawab
besar untuk mentransformasi nilai-nilai punk itu ke mereka. Bahwasanya punk itu
tidak hanya tidak dari musik, penampilan, kemarahan saja, tidak."
"Punk bukan mewariskan
nilai-nilai orang London, atau orang-orang Barat, tapi punk itu sejatinya
mengenal diri kita sendiri. Itu yang bagi Mike punya kepentingan untuk memberi
pengaruh besar kepada mereka untuk mengenali diri mereka sendiri. Seperti
kebanyakan masyarakat Indonesia yang hanya ingin menjadi orang lain. Ingin
menjadi Barat, ingin menjadi Timur Tengah."
Memberi identitas adalah hal yang
normalnya dilakukan orang tua. Namun bagi anak-anak jalanan ini, orang tua
mereka adalah Punk.
http://www.bbc.com/indonesia/majalah-41330452